Syarat Nikah Beda Agama dan Hukumnya menurut Negara dan Agama

Pernikahan antara Mikha Tambayong dan Deva Mahenra telah menarik perhatian banyak orang karena diduga dilakukan oleh pasangan beda agama. Sejak mereka berpacaran, diketahui bahwa Deva adalah seorang Muslim, sedangkan Mikha adalah seorang Kristen. Sayangnya, keduanya belum memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang prosesi pernikahan mereka.

Meskipun pernikahan beda agama masih menjadi topik yang kontroversial di Indonesia, banyak pasangan yang memilih untuk melakukannya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya landasan hukum yang jelas terkait pernikahan beda agama di Indonesia.

Syarat Nikah Beda Agama di Indonesia

Namun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk melangsungkan pernikahan beda agama di Indonesia. Dilansir dari https://nicewedding.id/, berikut adalah langkah-langkah yang harus diikuti untuk memenuhi syarat nikah beda agama di Indonesia.

Penetapan Pengadilan

Langkah pertama adalah melalui penetapan pengadilan. Seperti kisah pasangan yang berbeda agama yang telah disebutkan sebelumnya, pasangan harus mengirimkan surat permohonan penetapan pernikahan beda agama terlebih dahulu agar disetujui. Syarat ini disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986. Pasangan harus menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan ke pengadilan setempat dan memilih salah satu lembaga agama.

Sesuai dengan Agama Masing-Masing

Syarat nikah beda agama yang kedua adalah mempelai harus menyesuaikan agama yang dianut masing-masing. Walaupun mempunyai agama yang berbeda, kedua mempelai pegantin tetap harus mengikuti tata cara agama dari pasangannya.

Dokumen Penting

Seperti pernikahan pada umumnya, pasangan beda agama juga harus menyiapkan beberapa dokumen yang menjadi syarat menikah.

Ada beberapa dokumen yang harus dipersiapkan bagi pasangan yang ingin menikah, terutama bagi mereka yang berasal dari agama yang berbeda. Dokumen-dokumen ini diperlukan sebagai persyaratan dalam proses pernikahan. Berikut adalah beberapa dokumen penting yang harus dipersiapkan oleh calon pengantin:

  • Pas foto calon pengantin ukuran 2×3 sebanyak 5 rangkap, dan pas foto ukuran 4×6 sebanyak 2 rangkap.
  • Fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan fotocopy akta kelahiran.
  • Surat pengantar nikah dari kantor kelurahan atau desa.
  • Surat persetujuan dari masing-masing calon pengantin.
  • Surat keterangan dari orang tua.
  • Surat pernyataan bahwa calon pengantin belum menikah sebelumnya atau sudah menikah dan telah bercerai.
  • Surat izin dari komandan bagi anggota POLRI/TNI yang ingin menikah.
  • Surat yang membuktikan bahwa calon pengantin telah melakukan tes kesehatan dan imunisasi dari puskesmas.
  • Surat akta cerai bagi calon pengantin yang sudah bercerai.
  • Surat akta kematian bagi calon pengantin yang ditinggal mati oleh pasangannya.
  • Surat izin dispensasi dari pengadilan agama jika calon pengantin kurang dari 19 tahun.
  • Surat izin poligami bagi calon suami yang telah memiliki istri sebelumnya.

Semua dokumen tersebut harus dilengkapi dengan benar dan lengkap agar proses pernikahan dapat berjalan lancar dan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.

—-

Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum di Indonesia

Nikah beda agama di Indonesia sering kali dilakukan secara rahasia atau terang-terangan bahkan dicatatkan di data kependudukan sebagai pasangan yang resmi menikah.

Namun, isu nikah beda agama menjadi sorotan setelah putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang memperbolehkan pencatatan nikah beda agama melalui Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby.

Keputusan ini diambil karena adanya kekosongan hukum dan demi menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta menghindari tindakan yang merugikan.

Namun, keputusan ini pada saat yang bersamaan juga melanggar hukum yang berlaku, tidak memenuhi prinsip HAM, dan melegalkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat terjadi atas kehendak bebas calon suami dan istri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Namun, undang-undang perkawinan juga mengatur bahwa sahnya perkawinan ditentukan berdasarkan hukum agama yang dianut oleh pasangan yang bersangkutan. Meskipun demikian, dalam ajaran agama Islam sendiri, pernikahan beda agama dilarang.

Secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua undang-undang ini mengatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan, termasuk pernikahan beda agama.

Menurut Pasal 2 Ayat (1) dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dianggap sah jika dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Oleh karena itu, bagi orang yang beragama Islam, keabsahan suatu perkawinan harus merujuk pada ajaran agama Islam.

Beberapa ketentuan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan hanya dianggap sah jika dilaksanakan sesuai dengan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 4 dari instruksi tersebut menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Namun, Pasal 40 membatasi beberapa kondisi yang melarang perkawinan, seperti seorang wanita yang bukan Muslim tidak dapat menikah dengan seorang pria.

Pasal 44 lebih tegas lagi mengatur bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Selain itu, Pasal 61 juga menetapkan bahwa alasan untuk mencegah perkawinan hanyalah ketika ada perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien.

Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Agama Islam

Ketentuan-ketentuan tersebut didasarkan pada hukum Islam dan diambil dari surat Al-Baqarah ayat 221 yang menegaskan bahwa pernikahan beda agama tidak diizinkan dan tidak ada peluang untuk disahkan.

‎Menurut sebuah riwayat yang dikutip oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi dari al-Muqatil, ayat 221 dalam surat al-Baqarah turun sebagai tanggapan atas permintaan Izin menikah yang diajukan oleh seorang Muslim bernama Ibnu Abi Martsad al-Ghanawi.

Dia ingin menikahi seorang wanita Quraisy miskin tapi cantik yang dulu menjadi kekasihnya sebelum masuk Islam. Namun, wanita tersebut masih memeluk agama musyrik. Rasulullah saw melarang sahabatnya untuk menikahi wanita tersebut, dan kemudian ayat ini diturunkan. (Tafsir Al-Baghawi).

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT mengharamkan orang mukmin menikah dengan orang musyrik yang menyembah berhala. Ayat ini kemudian menggeneralisir hukum tersebut terhadap pernikahan dengan orang musyrik dari kalangan kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) serta Watsaniyah (penyembah berhala).

Namun, Ibnu Katsir memperbolehkan pernikahan antara seorang Muslim dan perempuan Ahli Kitab, yang didasarkan pada ayat Al-Qur’an lain yang menjelaskan tentang hukum pernikahan beda agama, yaitu Surat al-Maidah ayat 5.

Dalam ayat ini terdapat kemungkinan untuk melakukan pernikahan beda agama, di mana seorang pria Muslim diizinkan menikahi seorang wanita Ahli Kitab. Ahli Kitab yang dimaksud dalam ayat ini menurut Syekh at-Thanthawi adalah orang Yahudi dan Nasrani.

Menurut Al-Nawawi, menurut Imam al-Syafi’i, seorang pria Muslim dapat menikahi seorang wanita kitabiyah apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum al-Qur’an diturunkan, dan mereka tetap beragama menurut kitab suci mereka.

Namun, menurut tiga mazhab lainnya, yaitu Hanafi, Maliki, dan Hambali, seorang pria Muslim dapat menikahi seorang wanita kitabiyah tanpa memperdulikan apakah agama Ahli Kitab tersebut telah berubah atau tidak.

Beberapa sahabat Nabi, seperti Abdullah bin Umar dan beberapa sahabat lainnya, menyatakan bahwa tidak sah dan haram menikah dengan Ahli Kitab karena mereka telah melakukan perubahan dalam ajaran mereka dan menyatakan bahwa Allah SWT adalah yang ketiga dari tiga tuhan (trinitas). Oleh karena itu, sebenarnya mereka telah melakukan syirik dalam aqidah.

Beberapa ulama menafsirkan bahwa hukum boleh menikah dengan Ahli Kitab diberikan pada masa ketika sedikit wanita Muslim yang tersedia untuk menikah. Namun, saat ini sudah banyak wanita Muslim yang tersedia untuk menikah, sehingga dispensasi tersebut tidak berlaku lagi, dan menikah dengan Ahli Kitab diharamkan.

Scroll to Top